Rabu, 04 Februari 2009

DARI SEBUAH KEMACETAN NAN RUTIN

Tak terasa sudah memasuki bulan kedua di tahun ini. Semua masih seperti semula, tak ada yang berubah. Jalan menuju kantor masih macet. Setiap hari kulihat wajah-wajah murung dan frustasi, entah karena kemacetan atau persoalan lain yang tidak kuketahui. Entah kenapa, setiap orang yang terjebak dalam kemacetan selalu mengutuk keadaan, sebuah kebiasaan ideal yang selalu menyalahkan orang lain. Polisi yang dianggap tidak mampu mengatur lalu lintas, angkot yang suka ngetem dan berhenti seenaknya, motor yang kreditannya murah jadi membuat orang seakan-akan berlomba untuk membelinya hingga di jalanan bak laron mereka berterbangan liar tak terkendali, mobil yang tidak pernah mau mengalah, pemerintah yang tidak peka terhadap kebutuhan warganya...bla...bla...bla...berjuta alasan lainnya (yang intinya tetap menyalahkan orang lain...termasuk aku sendiri...hehehe...).

Manusia memang ego-sentris, memandang segala kebenaran dari dirinya sebagai sebuah deklarasi eksistensi. Tak ada yang salah pada diriku, semua kesalahan yang ada terjadi karena orang lain tidak berbuat seperti aku (semoga aku ngga begitu). Kebenaran memang begitu seksi, lugu dan menggemaskan sehingga setiap orang yang hidup di bawah naungan atmosfer bumi ini berebut untuk mendapatkannya, meskipun terkadang setelah mendapatkannya ia tidak mengerti tujuannya untuk apa. Aku sendiri tidak mengerti apakah kebenaran itu sebuah keinginan atau kebutuhan. Seingatku tak ada kebenaran yang mutlak, semua relatif. Benar menurut si A belum tentu benar menurut si B, meskipun terkadang ada relasi yang semu dan samar-samar, tapi tetap ada diferensi yang lumayan signifikan. Lalu di mana letak kebenaran mutlak? Dengan tidak bermaksud mencontek Idi Subandi, mungkin ada di vokal baritonnya Eddie Vedder yang setiap pagi tanpa bosan nongkrong di telingaku lewat headset murahan, atau di jari jemari Stone Gossard yang merambah nada-nada minor, atau dalam dentuman gebukan drum Matt Cameron yang terkadang halus dan tiba-tiba bisa menghentak, atau dalam petikan Mike McReady yang kalem, atau justru dalam cabikan bass Jeff Ament? Aku sendiri tak pernah menemukannya, seperti Tuhan yang tak pernah kutemukan juga. Atau mungkin memang belum kutemukan? Cukup kuyakinkan diri sendiri tanpa bermaksud egois, bahwa aku akan tetap mencari. Terima kasih kuucapkan pada kemacetan, yang telah menganugerahkan waktu bagiku untuk kontemplasi. Dan hingar bingar klakson kian menjadi...cukup aku tersenyum.

Tidak ada komentar: