Kamis, 19 Februari 2009

GRAVITASI

aku jatuh, setelah terlempar dengan mulut menganga
tercerabut dari serabut akar yang mengikat
berputar di antara rotasi bumi pada porosnya
dan aku terkapar di tanah bersimbah luka

seringai senyum terakhirmu menjadi artefak
yang bersemayam layaknya berhala Latta dan Udza'
mengada dalam keyakinan bedanya aku tanpa dirimu
meluruh jiwa-jiwa yang terkurung amarah

gravitasi memasung hingga lumpuh menggerayangi
kau adalah poros bumi yang bersandar nyaman
mempermainkan setiap jengkal tanah dan lautan
tersungkur bisu dan selalu memujamu

kau gores aku dengan rotasimu...

Rabu, 18 Februari 2009

TAROMBO SI RAJA NAINGGOLAN (SILSILAH MARGA NAINGGOLAN)

Raja Nainggolan, memiliki dua anak:

I. Toga Si Batu, memiliki dua anak:
a. Batuara, memiliki dua anak:
1. Tua Namora
2. Ampapaga
b. Parhusip

II. Toga Si Ruma Hombar, memiliki empat anak:
a. Lumban Nahor
b. Mogot Pinayungan, memiliki dua anak:
1. Lumban Tungkup (Tanjabau)
2. Lumban Raja (Datu Parulas), memiliki dua belas anak:
1. Gr. Panuju (Nahulae)
2. Dormahasi (Sibuaton)
3. Sarmahata (Pusuk)
4. Mata Tunggal
5. Tuan Rangga
6. Raja Talutuk
7. Toga Sahata
8. Sabungan Raja
9. Gr. Tinunjangan
10. Gr. Tinandangan
11. R. Bonan Dolok
12. R. Tomuan
c. Lumban Siantar
d. Hutabalian

(diambil dari berbagai sumber)
Saat ini banyak orang melupakan silsilah keluarga karena beranggapan bahwa hal tersebut tidaklah penting dan tidak berguna. Jadi tidak perlu heran kalau saat ini banyak orang tidak mengenal identitas dirinya sendiri. Oleh karena itu disini aku mencoba kembali menggali silsilah keluarga dari pihak bapak, meskipun aku sendiri belum begitu paham karena dalam keluarga aku dibangun dengan kultur Kesundaan (ibunda) yang lebih kental. Makanya hingga detik ini aku bangga menjadi orang Indonesia keturunan Batak yang berbahasa Sunda, karena lebih banyak orang Sunda yang bangga berbahasa Indonesia dan lupa bahasa Sunda.

Senin, 16 Februari 2009

INTERMEZZO

berkelindan, mencecar setiap sudut
di dalam kotak pandora yang terselubung
diiringi tiupan sangkakala berirama grunge
menembus ruang batas nalar dan akal

bersama ha-na-ca-ra-ka dalam notasi da-mi-na-ti-la-da
semua kepalsuan mewujud pada keasliannya
amarah lokal menantang kejantanan jaman
diam atau melawan?

Senin, 09 Februari 2009

BERLALU

...brr...brr...brr...
dingin menyapu helai rambutmu yang berurai
dan langkah kakiku membeku terpesona
mencuri jejak bayangmu yang terhampar

kulukis wajahmu pada hujan pagi ini
hanya untuk sekedar mengingatmu
meski luapan hasrat tersambar petir
agar sesaat yang terlewat tak mengharu

dan berlalu...selalu berlalu...

Sabtu, 07 Februari 2009

SAMPAI SINI

melawan sebuah perjalanan
menyusuri trotoar yang terbengkalai
tak ada keindahan karena kini hanya debu
dan cerita soal masa lalu

jelaga hari masih tertuang pada tungku
mengukir indah hitamnya masa depan
di bawah temaram cahaya senjakala
mengarah pada kesunyian alam baka

aku ingini hidup ini cukup satu hari
saat mulai bernafas lalu terkapar pasrah
hingga gelombang realita tak sempat melingkari
tak ada pertanggungjawaban yang gelisah

...rasanya cukup sampai disini...
...wahai waktu renggutlah sukmaku...
...wahai bumi terimalah ragaku...
...wahai Sang Khalik hisablah amalku...

Rabu, 04 Februari 2009

DARI SEBUAH KEMACETAN NAN RUTIN

Tak terasa sudah memasuki bulan kedua di tahun ini. Semua masih seperti semula, tak ada yang berubah. Jalan menuju kantor masih macet. Setiap hari kulihat wajah-wajah murung dan frustasi, entah karena kemacetan atau persoalan lain yang tidak kuketahui. Entah kenapa, setiap orang yang terjebak dalam kemacetan selalu mengutuk keadaan, sebuah kebiasaan ideal yang selalu menyalahkan orang lain. Polisi yang dianggap tidak mampu mengatur lalu lintas, angkot yang suka ngetem dan berhenti seenaknya, motor yang kreditannya murah jadi membuat orang seakan-akan berlomba untuk membelinya hingga di jalanan bak laron mereka berterbangan liar tak terkendali, mobil yang tidak pernah mau mengalah, pemerintah yang tidak peka terhadap kebutuhan warganya...bla...bla...bla...berjuta alasan lainnya (yang intinya tetap menyalahkan orang lain...termasuk aku sendiri...hehehe...).

Manusia memang ego-sentris, memandang segala kebenaran dari dirinya sebagai sebuah deklarasi eksistensi. Tak ada yang salah pada diriku, semua kesalahan yang ada terjadi karena orang lain tidak berbuat seperti aku (semoga aku ngga begitu). Kebenaran memang begitu seksi, lugu dan menggemaskan sehingga setiap orang yang hidup di bawah naungan atmosfer bumi ini berebut untuk mendapatkannya, meskipun terkadang setelah mendapatkannya ia tidak mengerti tujuannya untuk apa. Aku sendiri tidak mengerti apakah kebenaran itu sebuah keinginan atau kebutuhan. Seingatku tak ada kebenaran yang mutlak, semua relatif. Benar menurut si A belum tentu benar menurut si B, meskipun terkadang ada relasi yang semu dan samar-samar, tapi tetap ada diferensi yang lumayan signifikan. Lalu di mana letak kebenaran mutlak? Dengan tidak bermaksud mencontek Idi Subandi, mungkin ada di vokal baritonnya Eddie Vedder yang setiap pagi tanpa bosan nongkrong di telingaku lewat headset murahan, atau di jari jemari Stone Gossard yang merambah nada-nada minor, atau dalam dentuman gebukan drum Matt Cameron yang terkadang halus dan tiba-tiba bisa menghentak, atau dalam petikan Mike McReady yang kalem, atau justru dalam cabikan bass Jeff Ament? Aku sendiri tak pernah menemukannya, seperti Tuhan yang tak pernah kutemukan juga. Atau mungkin memang belum kutemukan? Cukup kuyakinkan diri sendiri tanpa bermaksud egois, bahwa aku akan tetap mencari. Terima kasih kuucapkan pada kemacetan, yang telah menganugerahkan waktu bagiku untuk kontemplasi. Dan hingar bingar klakson kian menjadi...cukup aku tersenyum.