Selasa, 15 Juli 2008

LELAH...MUNGKIN AKU SUDAH LEMAH...

Tidak ada satupun perjalanan yang tidak melelahkan. Apalagi menjalani kehidupan, ditengah-tengah pertarungan berbagai perbedaan yang dikemas dalam bungkusan logika dan ditawarkan dengan argumentasi yang menggiurkan. Semua terlihat benar dan betul, entah itu kebenaran atau kebetulan, atau kebetulan benar, kebenaran betul, atau kebenaran yang kebetulan, atau kebetulan dengan kebenaran. Di mataku semua samar, penuh arti tapi tak bermakna. Semua merasa diri paling benar, meski kemudian menjadi sebuah kebetulan belaka. Lalu dimanakah kebenaran yang hakiki? Hampir setiap kepala yang kutemui memiliki alasan yang mencengangkan ketika ia memaparkan apa yang menurutnya benar. Aku tidak pernah tahu dari mana pendapatnya berasal. Atau mungkin memang seharusnya aku tidak perlu tahu. Hidup memang perjalanan yang melelahkan, seperti tak berujung, sekalipun ada ujungnya mungkin tak tergapai, kembali semua samar.
Di depan pos satpam kantorku nampak seorang ibu berjualan nasi uduk, dia sudah begitu tua, umurnya mungkin dua atau tiga kali umurku. Setiap harinya ia dengan sabar melayani para pelanggannya, termasuk aku. Pada satu kesempatan aku pernah bertanya kenapa sudah berumur tapi tetap masih bekerja. Dengan senyum ia menjawab bahwa hal ini tetap dilakukan untuk menambah penghasilan dan membantu suami demi menghidupi keluarga. Aku pun kembali bertanya bagaimana dengan anaknya, koq tega membiarkan ibu masih bekerja. Masih dengan senyum yang sama, ia pun menjawab, kalau hanya mengandalkan penghasilan dari anak, mana mungkin di jaman susah seperti sekarang ini bisa mencukupi. Ibu melanjutkan bahwa semua anggota keluarganya bekerja dan saling menyisihkan penghasilan untuk kehidupan bersama. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, Karl Marx (entah kenapa filsuf Jerman satu ini tidak pernah lepas dari serotin otakku), konsepsi komunal primitif (ini juga tidak pernah lupa), dan aku pun asyik dengan dialog dalam diri.
Tiba-tiba aku ingat pada ibuku (ach...standar, orang Melayu memang gandrung dengan melodramatik dan penyesalan yang terlambat), berjuang sendirian membesarkan ketiga anaknya hingga semua punya pekerjaan dan tidak pernah sekalipun meminta kembali apa yang telah diberikannya. Mungkin memang tidak ada bedanya setiap perjuangan sosok ibu demi sang anak tercinta. Lalu apa peran ayah? Ayah seperti terpinggirkan dari sistem keluarga atau hanya sebagai figuran belaka untuk mengisi sebuah keseimbangan hidup. Kupikir juga tidak sedramatis itu, figur ayah merupakan pelengkap kesempurnaan dari sebuah keseimbangan. Terciptanya dua kubu yang bertentangan (oposisi binner) menemukan keharmonisan ketika dua pertentangan tersebut menyatu dalam bingkai kasih sayang dan balutan pengertian (sok teoritik atau hanya sebuah perenungan belaka).
Dua kisah yang memang berbeda dan tidak memiliki kesinambungan, tapi memang hanya itu yang ingin kutuliskan saat ini. Saat aku merasa lelah karena mungkin aku sudah lemah. Lemah menikmati realita dan lelah menunggangi kenyataan. Mungkin juga ini adalah luapan frustasi yang mengungkung jiwa, atau mungkin juga sebuah bentuk pembunuhan pada waktu, entah lah. Yang jelas, saat ini waktu masih menari dengan tarian rangsangan agar aku tetap meniti tangganya mengikuti desahan nafas hingga nafsu.
Kujadikan ini sebagai catatan kebrutalanku, meski aku yakini bahwa setiap kisah hanyalah pengulangan belaka yang terus berulang dan berulang lagi...tak ada kisah baru. Karena dunia hanya sebuah bangunan yang berdinding waktu dan berlangitkan ruang. Putaran waktu hanya 24 jam! Dan ruang hanya selebar dunia...tak lebih dan tak kurang....atau mungkin tak bermakna layaknya tulisan ini...

Tidak ada komentar: