Sabtu, 26 Juli 2008

NIE, AKU?!#*$...SUDAHLAH!

Semula…
“Sebenarnya, aku…aku sayang kamu”, dengan tergagap kalimat itu mengalun merdu dari bibir tipis, yang selama ini kunikmati ketika mencumbumu. Kini bibir itu mengoyak gendang telingaku hingga menjalari otak dan meracuni perasaanku. Aku hanya diam. “Kamu tega, aku ngga terima, apa salahku?” Air mata luruh dari kedua mata yang selalu kupandangi saat kucoba yakinkan dirimu. “Nie, kamu ngga salah, yang salah aku.”, kucoba jelaskan padanya dengan menyebut panggilan kesayangannya. “Dari sejak pertama kenal, akulah yang salah, karena aku yang memulai ini semua.” Isak tangisnya kian menjadi meronta mencoba mengingkari kenyataan. “Aku sadar banyak sudah yang kau korbankan demi aku, Nie.” Kutarik nafas panjang, “Dari sahabatmu yang membenciku, kawan-kawan yang selama ini membelamu hingga mantan pacarmu yang menganggap kamu bodoh, semua kamu jalani demi aku, Nie.” “Pengorbanan yang tak mungkin aku bisa bayar dengan memohon sepatah kata maaf darimu.” Kutatap tajam wajahnya yang kian kelam, “Sejujurnya, aku sayang kamu, Nie, tak perlu kau mengingat aku biarkan aku yang akan selalu mengenangmu dan kenangan itu akan kujadikan siksaan batin seumur hidupku.” Kuayunkan tanganku ke pundaknya, “Biarkan aku pergi, tinggalkan semua mimpi yang kita rangkai ini.” Sejumput senyum terlukis di bibirmu, senyum terindah yang pernah kulihat selama mengenalmu. Nalarku lumpuh hingga tak mampu mencerna makna senyummu itu, aku terkesima. Entah itu karena senyum terakhir yang mungkin bisa kulihat, entah karena suasana yang dramatis, entah karena memang aku tak tahu maknanya. “Cukup, aku sudah mengerti,” ujarmu dengan jari telunjuk yang kau tempelkan di antara hitamnya dua bibirku, seolah memintaku untuk tidak berbicara lagi. Ribuan kata bahkan jutaan meluap di otakku, tapi tak sepatah kata pun yang mampu merangsang lidahku untuk mengucapkannya. Keringat dingin melumpuri sekujur tubuhku, tiba-tiba badai kerinduan merantai hati. Aku bertanya dalam hati, mengapa belum berpisah namun aku sudah merasa berat untuk terpisah. Apa karena aku mengingkari dunia atau karena aku sayang padanya? Pertanyaan itu terus berputar diantara rongga-rongga otakku hingga aku bingung sendiri. Aku tetap berdiri, ketika ia membalikkan badannya sambil berucap,”Terima kasih atas semua yang pernah kamu berikan.” Dia melangkah gontai meninggalkan aku yang terpaku diam tak mampu bergerak…semudah itukah semua ini?

Waktu berlalu, seperti biasanya, tak ada yang sempurna…
Dan sejak itu, bayangmu selalu datang menggoda, menggiring setiap kenangan melintasi kelopak mataku. Semula tak ada rasa, namun begitu deras dan keras hantaman kenangan tanpa terasa kerinduan menyeruak diantara dinding hati yang retak. Menggelitik, menyentuh dengan lembut sanubari hingga terkadang menampar bahkan memukul kekosongan jiwa. Aku hakimi diriku tanpa pengacara, kujatuhkan vonis tanpa mempertimbangkan fakta bahwa aku telah berbuat bodoh, layaknya keledai yang selalu jatuh di lubang yang sama. Terkadang ada keinginan untuk mengajukan grasi padanya tapi ada dorongan dalam hati yang mengatakan tidak mungkin ia mau memberikannya, luka yang kutorehkan terlalu dalam hingga meninggalkan bekas yang tak terlupakan. Melakukan banding untuk meninjau kembali sudah terlambat. Tuhan memang menciptakan kecewa tidak pernah berada di pangkal peristiwa, ia muncul ketika fenomena sudah berlalu terhembus angin waktu.

Perjalanan pun beralih, dan peristiwa tetap mengalir…
Berbagai persimpangan kulewati, dari jalanan yang menjulang tinggi hingga turunan yang curam. Kutapaki setiap dinding dan kutinggalkan jejaknya dengan harapan suatu saat akan kugali kembali artefak-artefak diri di situs-situs yang kubangun. Tapi dirimu tetap sulit untuk kulupakan, terkadang aku berpikir dengan logika terbalik, mungkin aku yang sebenarnya terluka bukan kamu. Kenyataannya, yang dihantui penyesalan hanya aku, atau ini hanya pembuktian atas sumpahku untuk selalu mengenangmu. Tak pernah kutemukan jawabannya, what the fuck is this world? (Porch by Pearl Jam). Andaikata saja kamu bisa menyadap perasaanku saat ini, kamu bisa dengar setiap ungkapan jiwa yang berkelindan dalam nuraniku yang terdalam. Mengapa kejujuran ini tak pernah bisa kupertahankan? Once upon the time I could control myself and once upon the time I could lost myself, but once upon the time I could love you (Once by Pearl Jam). Kehidupan memang sebuah misteri, bisakah kau katakan yang terjadi kebetulan belaka? (Maharencana by Cupumanik). Karena aku yakin setiap peristiwa memiliki makna tak ada satupun fenomena yang nirmakna.

Ruang berpindah, berjalan seiring dengan kebutuhan…
Ada masa ketika kita ingat pada kejadian silam, namun terkadang ada masa kita merancang masa yang akan datang. Semua berpijak pada waktu. Masa lalu yang kelam (memalukan, mengecewakan, dan negative phenomena lainnya) selalu kita delete dari ruang ingatan. Berbeda dengan ingatan yang cerah (membanggakan, lucu dan positive phenomena lainnya) menjadi kebanggaan yang selalu kita tayangkan dalam setiap kesempatan. Namun, dari yang mengalir, sosok dirimu tak pernah larut atau hanyut. Bayangmu selalu mengambang meski tanpa arah di antara genangan kenangan. Posesif? Mungkin. Ilusif? Mungkin. Halusinasi? Mungkin. Melodramatic? Bisa jadi. Ambisi? Boleh juga. Layakkah aku memintamu kembali dengan alasan melodramatic dan ambisi yang mendasari? Can you feel their laughter? How quick the sun can drop away…of what was everything…(Black by Pearl Jam).

Pada suatu ketika…
Kamu adalah perempuan tercantik yang pernah kukenal, ach, alasan yang standar. Ehm, kamu adalah perempuan terbaik yang pernah kumiliki, the best I ever had. Ach, terlalu mengada-ada. Oh iya, kamu adalah segalanya bagiku, rasanya tidak mungkin. It’s just bluffing statement, so what gitu lho? Tak ada satu pun yang mampu kujadikan jawaban atas penampakan dirimu dalam rangkuman sejarah hidupku. Semua jawaban itu terlalu muluk, tidak membumi dan hanya memposisikan aku sebagai penikmat belaka. Kamu bukan yang tercantik, kamu bukan yang terbaik dan kamu pun bukan segalanya bagiku. Begitupun eksistensiku pada dirimu. Hari yang sungguh menyebalkan dan waktu yang membosankan. Lebih baik aku tidur saja untuk bermimpi.

Satu tahun…dua tahun…tiga tahun…empat tahun…lima tahun…enam tahun…tujuh tahun…menggelinding…
Tujuh, angka favoritku. Entah apa penyebabnya, aku begitu suka dengan angka tujuh. Mungkin karena langit ada tujuh lapis, mandi kembang tujuh rupa dari air tujuh sumur, seminggu ada tujuh hari, berangkat sekolah/kerja jam tujuh pagi, apel malam minggu mulai dari jam tujuh malam, ada tujuh keajaiban dunia, peringatan kematian tujuh hari (tahlilan), ada tujuh tingkatan surga dan neraka, kucing memindahkan anaknya sebanyak tujuh kali dan tujuh-tujuh lainnya. Yang jelas, angka tujuh begitu eksotik dalam kehidupanku. Meskipun tak selamanya angka tujuh memberikan yang terbaik buat diriku. Seven magnificient or seven miracle (EBL = English Blepot Language = Inggris sapẻnaẻ cangkemku wae). Sakralisasi angka tujuh dalam diri, untuk urusan satu ini aku cukup narsis, ujar seorang kawan karibku beberapa waktu lalu. Tapi, sumpah demi Allah tak pernah kumengerti mengapa aku begitu tergila-gila dengan angka tujuh (sevenhyperholicmaniac). Aku pun sadar, bahwa rasa itu seperti apa yang kurasakan pada dirimu, aku jadi ingat kamu lagi. Tujuh tahun berlalu tanpa dirimu, benar-benar tak terasa. Apa yang sedang kamu lakukan saat ku mengingatmu? Kamu sudah pasti tak peduli…

Nie,
Aku tersesat dalam pilihan
Entah karena buta mata hatiku
Entah karena tuli telinga naluriku
Entah karena lumpuh kaki hasratku
Semua terbelenggu nafsu

Sekalipun kamu bisa mengerti
Jalan itu tak mungkin terlalui
Sekalipun kamu bisa pahami
Jurang itu tak bisa terlewati

Kutinggalkan dirimu tepat di tengah persimpangan
Di antara dua pilihan yang memandang ke depan
Permainan kata yang tak biasa membahana
Di antara segenap cinta yang membara

Di titian ini akhir perjalanan kita
Kuseberangkan dirimu untuk terbang menjauh
Mengepakkan sayap indah berwarna keemasan
Menuju kebahagian yang termimpikan

Kuakui tak pernah bisa memungkiri
Aku cinta kamu
Aku sayang kamu
Aku peduli kamu
Lalu aku lukai kamu

Cukup kupendam rasa ini, memendar dalam jiwa
Kupandangi kepak sayapmu yang terakhir
Hingga desir anginnya tak terasa lagi menerpa wajahku
Kau menjauh, moksa dalam pandangan mata hati

……………….aku terbangun!“Gila, jam berapa nih!” setengah jiwaku tergoncang hingga aku sedikit terlihat gila. “Tenang bos, baru juga setengah enam,” temanku coba menenangkan. Aku langsung berlari ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Ach, kenapa aku harus terlambat lagi, batinku mengeluh. Dan seperti biasa, rutinitas kembali membelenggu waktuku, tapi paling tidak aku bisa melupakan kamu untuk sesaat. Terima kasih Allah, kau sudah ciptakan cerita diantara aku dan dia. Dan terima kasih untukmu telah berkenan menerimaku sesaat. Nie, aku…? Sudahlah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

???