Selasa, 29 Juli 2008

HANYA KATA BELAKA

banyak cara memendam hasrat
begitupun membunuh waktu

tapi mimpi tak mungkin kulukai
begitupun dengan harapan

mungkin semua hanya kata belaka
namun hidup bukan rangkaian kata belaka

ada makna yang tersirat
ada arti yang tersurat

DIAM SAJA (SENANDUNG AKHIR BULAN)

tak pernah kutunggu pagi
karena ia akan menghampiri
meninggalkan malam
dengan anyir darahnya

melimpah ayat-ayat do'a
sejajar dengan jumlah makna
yang tertelan dalam perjalanan
dan tertulis dengan untaian perasaan

hitam adalah pilihan
ketika putih sulit untuk dicerna
abu-abu hanya pajangan
dan warna tak harus jadi pegangan

merangkai cerita dengan diam
tanpa kata yang terbuang
tak perlu huruf yang menyiksa
hanya rasa yang bercengkerama

mengejar mimpi tanpa berlari
hanya diam laksana matahari
berputar di orbitnya dengan pasti
hanya waktu yang silih berganti

malam akan datang begitupun siang
pagi dan sore hanya jarak diantaranya
mengapa harus menjadi dungu?
menunggu sesuatu yang jelas membisu

diam saja, sudah cukup

Sabtu, 26 Juli 2008

NIE, AKU?!#*$...SUDAHLAH!

Semula…
“Sebenarnya, aku…aku sayang kamu”, dengan tergagap kalimat itu mengalun merdu dari bibir tipis, yang selama ini kunikmati ketika mencumbumu. Kini bibir itu mengoyak gendang telingaku hingga menjalari otak dan meracuni perasaanku. Aku hanya diam. “Kamu tega, aku ngga terima, apa salahku?” Air mata luruh dari kedua mata yang selalu kupandangi saat kucoba yakinkan dirimu. “Nie, kamu ngga salah, yang salah aku.”, kucoba jelaskan padanya dengan menyebut panggilan kesayangannya. “Dari sejak pertama kenal, akulah yang salah, karena aku yang memulai ini semua.” Isak tangisnya kian menjadi meronta mencoba mengingkari kenyataan. “Aku sadar banyak sudah yang kau korbankan demi aku, Nie.” Kutarik nafas panjang, “Dari sahabatmu yang membenciku, kawan-kawan yang selama ini membelamu hingga mantan pacarmu yang menganggap kamu bodoh, semua kamu jalani demi aku, Nie.” “Pengorbanan yang tak mungkin aku bisa bayar dengan memohon sepatah kata maaf darimu.” Kutatap tajam wajahnya yang kian kelam, “Sejujurnya, aku sayang kamu, Nie, tak perlu kau mengingat aku biarkan aku yang akan selalu mengenangmu dan kenangan itu akan kujadikan siksaan batin seumur hidupku.” Kuayunkan tanganku ke pundaknya, “Biarkan aku pergi, tinggalkan semua mimpi yang kita rangkai ini.” Sejumput senyum terlukis di bibirmu, senyum terindah yang pernah kulihat selama mengenalmu. Nalarku lumpuh hingga tak mampu mencerna makna senyummu itu, aku terkesima. Entah itu karena senyum terakhir yang mungkin bisa kulihat, entah karena suasana yang dramatis, entah karena memang aku tak tahu maknanya. “Cukup, aku sudah mengerti,” ujarmu dengan jari telunjuk yang kau tempelkan di antara hitamnya dua bibirku, seolah memintaku untuk tidak berbicara lagi. Ribuan kata bahkan jutaan meluap di otakku, tapi tak sepatah kata pun yang mampu merangsang lidahku untuk mengucapkannya. Keringat dingin melumpuri sekujur tubuhku, tiba-tiba badai kerinduan merantai hati. Aku bertanya dalam hati, mengapa belum berpisah namun aku sudah merasa berat untuk terpisah. Apa karena aku mengingkari dunia atau karena aku sayang padanya? Pertanyaan itu terus berputar diantara rongga-rongga otakku hingga aku bingung sendiri. Aku tetap berdiri, ketika ia membalikkan badannya sambil berucap,”Terima kasih atas semua yang pernah kamu berikan.” Dia melangkah gontai meninggalkan aku yang terpaku diam tak mampu bergerak…semudah itukah semua ini?

Waktu berlalu, seperti biasanya, tak ada yang sempurna…
Dan sejak itu, bayangmu selalu datang menggoda, menggiring setiap kenangan melintasi kelopak mataku. Semula tak ada rasa, namun begitu deras dan keras hantaman kenangan tanpa terasa kerinduan menyeruak diantara dinding hati yang retak. Menggelitik, menyentuh dengan lembut sanubari hingga terkadang menampar bahkan memukul kekosongan jiwa. Aku hakimi diriku tanpa pengacara, kujatuhkan vonis tanpa mempertimbangkan fakta bahwa aku telah berbuat bodoh, layaknya keledai yang selalu jatuh di lubang yang sama. Terkadang ada keinginan untuk mengajukan grasi padanya tapi ada dorongan dalam hati yang mengatakan tidak mungkin ia mau memberikannya, luka yang kutorehkan terlalu dalam hingga meninggalkan bekas yang tak terlupakan. Melakukan banding untuk meninjau kembali sudah terlambat. Tuhan memang menciptakan kecewa tidak pernah berada di pangkal peristiwa, ia muncul ketika fenomena sudah berlalu terhembus angin waktu.

Perjalanan pun beralih, dan peristiwa tetap mengalir…
Berbagai persimpangan kulewati, dari jalanan yang menjulang tinggi hingga turunan yang curam. Kutapaki setiap dinding dan kutinggalkan jejaknya dengan harapan suatu saat akan kugali kembali artefak-artefak diri di situs-situs yang kubangun. Tapi dirimu tetap sulit untuk kulupakan, terkadang aku berpikir dengan logika terbalik, mungkin aku yang sebenarnya terluka bukan kamu. Kenyataannya, yang dihantui penyesalan hanya aku, atau ini hanya pembuktian atas sumpahku untuk selalu mengenangmu. Tak pernah kutemukan jawabannya, what the fuck is this world? (Porch by Pearl Jam). Andaikata saja kamu bisa menyadap perasaanku saat ini, kamu bisa dengar setiap ungkapan jiwa yang berkelindan dalam nuraniku yang terdalam. Mengapa kejujuran ini tak pernah bisa kupertahankan? Once upon the time I could control myself and once upon the time I could lost myself, but once upon the time I could love you (Once by Pearl Jam). Kehidupan memang sebuah misteri, bisakah kau katakan yang terjadi kebetulan belaka? (Maharencana by Cupumanik). Karena aku yakin setiap peristiwa memiliki makna tak ada satupun fenomena yang nirmakna.

Ruang berpindah, berjalan seiring dengan kebutuhan…
Ada masa ketika kita ingat pada kejadian silam, namun terkadang ada masa kita merancang masa yang akan datang. Semua berpijak pada waktu. Masa lalu yang kelam (memalukan, mengecewakan, dan negative phenomena lainnya) selalu kita delete dari ruang ingatan. Berbeda dengan ingatan yang cerah (membanggakan, lucu dan positive phenomena lainnya) menjadi kebanggaan yang selalu kita tayangkan dalam setiap kesempatan. Namun, dari yang mengalir, sosok dirimu tak pernah larut atau hanyut. Bayangmu selalu mengambang meski tanpa arah di antara genangan kenangan. Posesif? Mungkin. Ilusif? Mungkin. Halusinasi? Mungkin. Melodramatic? Bisa jadi. Ambisi? Boleh juga. Layakkah aku memintamu kembali dengan alasan melodramatic dan ambisi yang mendasari? Can you feel their laughter? How quick the sun can drop away…of what was everything…(Black by Pearl Jam).

Pada suatu ketika…
Kamu adalah perempuan tercantik yang pernah kukenal, ach, alasan yang standar. Ehm, kamu adalah perempuan terbaik yang pernah kumiliki, the best I ever had. Ach, terlalu mengada-ada. Oh iya, kamu adalah segalanya bagiku, rasanya tidak mungkin. It’s just bluffing statement, so what gitu lho? Tak ada satu pun yang mampu kujadikan jawaban atas penampakan dirimu dalam rangkuman sejarah hidupku. Semua jawaban itu terlalu muluk, tidak membumi dan hanya memposisikan aku sebagai penikmat belaka. Kamu bukan yang tercantik, kamu bukan yang terbaik dan kamu pun bukan segalanya bagiku. Begitupun eksistensiku pada dirimu. Hari yang sungguh menyebalkan dan waktu yang membosankan. Lebih baik aku tidur saja untuk bermimpi.

Satu tahun…dua tahun…tiga tahun…empat tahun…lima tahun…enam tahun…tujuh tahun…menggelinding…
Tujuh, angka favoritku. Entah apa penyebabnya, aku begitu suka dengan angka tujuh. Mungkin karena langit ada tujuh lapis, mandi kembang tujuh rupa dari air tujuh sumur, seminggu ada tujuh hari, berangkat sekolah/kerja jam tujuh pagi, apel malam minggu mulai dari jam tujuh malam, ada tujuh keajaiban dunia, peringatan kematian tujuh hari (tahlilan), ada tujuh tingkatan surga dan neraka, kucing memindahkan anaknya sebanyak tujuh kali dan tujuh-tujuh lainnya. Yang jelas, angka tujuh begitu eksotik dalam kehidupanku. Meskipun tak selamanya angka tujuh memberikan yang terbaik buat diriku. Seven magnificient or seven miracle (EBL = English Blepot Language = Inggris sapẻnaẻ cangkemku wae). Sakralisasi angka tujuh dalam diri, untuk urusan satu ini aku cukup narsis, ujar seorang kawan karibku beberapa waktu lalu. Tapi, sumpah demi Allah tak pernah kumengerti mengapa aku begitu tergila-gila dengan angka tujuh (sevenhyperholicmaniac). Aku pun sadar, bahwa rasa itu seperti apa yang kurasakan pada dirimu, aku jadi ingat kamu lagi. Tujuh tahun berlalu tanpa dirimu, benar-benar tak terasa. Apa yang sedang kamu lakukan saat ku mengingatmu? Kamu sudah pasti tak peduli…

Nie,
Aku tersesat dalam pilihan
Entah karena buta mata hatiku
Entah karena tuli telinga naluriku
Entah karena lumpuh kaki hasratku
Semua terbelenggu nafsu

Sekalipun kamu bisa mengerti
Jalan itu tak mungkin terlalui
Sekalipun kamu bisa pahami
Jurang itu tak bisa terlewati

Kutinggalkan dirimu tepat di tengah persimpangan
Di antara dua pilihan yang memandang ke depan
Permainan kata yang tak biasa membahana
Di antara segenap cinta yang membara

Di titian ini akhir perjalanan kita
Kuseberangkan dirimu untuk terbang menjauh
Mengepakkan sayap indah berwarna keemasan
Menuju kebahagian yang termimpikan

Kuakui tak pernah bisa memungkiri
Aku cinta kamu
Aku sayang kamu
Aku peduli kamu
Lalu aku lukai kamu

Cukup kupendam rasa ini, memendar dalam jiwa
Kupandangi kepak sayapmu yang terakhir
Hingga desir anginnya tak terasa lagi menerpa wajahku
Kau menjauh, moksa dalam pandangan mata hati

……………….aku terbangun!“Gila, jam berapa nih!” setengah jiwaku tergoncang hingga aku sedikit terlihat gila. “Tenang bos, baru juga setengah enam,” temanku coba menenangkan. Aku langsung berlari ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Ach, kenapa aku harus terlambat lagi, batinku mengeluh. Dan seperti biasa, rutinitas kembali membelenggu waktuku, tapi paling tidak aku bisa melupakan kamu untuk sesaat. Terima kasih Allah, kau sudah ciptakan cerita diantara aku dan dia. Dan terima kasih untukmu telah berkenan menerimaku sesaat. Nie, aku…? Sudahlah.

CATATAN PAGI INI (29 JUNI 2008)

cerah pagi mengusik mimpi
karena sang surya bangunkan kesadaran
akan datangnya hari ini
dari kemarin menuju masa depan

ungkapan rasa memuntahkan asa
lahirkan semangat perjuangan
dengan kepastian yang menantang
pada luapan keyakinan

kubuka setiap jendela hati
mengundang segarnya embun
yang bergulir diantara rimbun dedaunan
dan rerumputan yang hijau merangsang

kehangatan jiwa menyatu
diantara serpihan waktu yang terurai
mengikis kelamnya nuansa
gagalnya sebuah harapan

pertemuan yang berlalu dan perpisahan yang berjalan
diantaranya aku melangkah
ibarat pujangga suratkan setiap pengalaman
kucoba lebih bijak hadapi setiap realita

meski kata penuh cinta
karena benci mungkin mengisi hati
kubangun kepastian hidup
meski harus sendiri kutapaki

Selasa, 22 Juli 2008

SENJA YANG KUTUNGGU

entah mengapa kusuka senja
mungkin karena kesadaran atau hanya kumpulan ilusi belaka
atau karena makna yang terekam dalam jiwa
menggurui setiap jengkal logika yang termuntahkan

entah mengapa kunikmati senja
mungkin karena sunset yang merahkan cakrawala dengan indah
atau karena pemandangan yang mempesona
menipu setiap sorot mata raga yang terurai

mungkin...
tak perlu kurasa karena hanya fenomena biasa
tak perlu kujaga karena hanya waktu yang bicara
tak perlu kuraba karena pengalaman yang cerita

senja yang kutunggu
jelanglah aku di pintu gerbang
meretas jalan menuju merdeka
dengan kebebasan nan kekal

senja yang kutunggu
menarilah dengan anggun
demi aku
demi keyakinanku

senja yang kutunggu
ah, kau begitu merangsang

MEMBAKAR BATAS

denyut nadi hari ini masih mewarnai waktu
mengukur jiwa setiap insan yang bernafas
memuntahkan nurani yang menggelepar
hitam putih pusaran dalamnya kubangan

seringai kaum dusta menggugat alam
kelakar ayam pejantan melubangi luka
jejak pertikaian masih menganga
diantara derasnya hujan senja

hanya membakar batas yang terenda

Kamis, 17 Juli 2008

...KETIKA...MUNGKIN HANYA...LEWATI SAJA...

suara itu masih menyapa
dalam kesunyian yang mengakar

bayangan itu kerap terpajang
ditengah kelamnya dinding jaman

airmata mengaliri setiap cerita
meski hanya pengulangan logika

jiwa-jiwa yang pongah membusungkan luka
cumbui datangnya senja dengan mesra

kecup hangat dan lesung pipit
tidurkan nafas selimuti mimpi

lewati saja
ini hanya perjalanan yang melingkar
yang berujung pada kematian
ketika raga memisahkan dunia
mungkin hanya amal yang terbawa

lewati saja
batas senja...

Selasa, 15 Juli 2008

LELAH...MUNGKIN AKU SUDAH LEMAH...

Tidak ada satupun perjalanan yang tidak melelahkan. Apalagi menjalani kehidupan, ditengah-tengah pertarungan berbagai perbedaan yang dikemas dalam bungkusan logika dan ditawarkan dengan argumentasi yang menggiurkan. Semua terlihat benar dan betul, entah itu kebenaran atau kebetulan, atau kebetulan benar, kebenaran betul, atau kebenaran yang kebetulan, atau kebetulan dengan kebenaran. Di mataku semua samar, penuh arti tapi tak bermakna. Semua merasa diri paling benar, meski kemudian menjadi sebuah kebetulan belaka. Lalu dimanakah kebenaran yang hakiki? Hampir setiap kepala yang kutemui memiliki alasan yang mencengangkan ketika ia memaparkan apa yang menurutnya benar. Aku tidak pernah tahu dari mana pendapatnya berasal. Atau mungkin memang seharusnya aku tidak perlu tahu. Hidup memang perjalanan yang melelahkan, seperti tak berujung, sekalipun ada ujungnya mungkin tak tergapai, kembali semua samar.
Di depan pos satpam kantorku nampak seorang ibu berjualan nasi uduk, dia sudah begitu tua, umurnya mungkin dua atau tiga kali umurku. Setiap harinya ia dengan sabar melayani para pelanggannya, termasuk aku. Pada satu kesempatan aku pernah bertanya kenapa sudah berumur tapi tetap masih bekerja. Dengan senyum ia menjawab bahwa hal ini tetap dilakukan untuk menambah penghasilan dan membantu suami demi menghidupi keluarga. Aku pun kembali bertanya bagaimana dengan anaknya, koq tega membiarkan ibu masih bekerja. Masih dengan senyum yang sama, ia pun menjawab, kalau hanya mengandalkan penghasilan dari anak, mana mungkin di jaman susah seperti sekarang ini bisa mencukupi. Ibu melanjutkan bahwa semua anggota keluarganya bekerja dan saling menyisihkan penghasilan untuk kehidupan bersama. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, Karl Marx (entah kenapa filsuf Jerman satu ini tidak pernah lepas dari serotin otakku), konsepsi komunal primitif (ini juga tidak pernah lupa), dan aku pun asyik dengan dialog dalam diri.
Tiba-tiba aku ingat pada ibuku (ach...standar, orang Melayu memang gandrung dengan melodramatik dan penyesalan yang terlambat), berjuang sendirian membesarkan ketiga anaknya hingga semua punya pekerjaan dan tidak pernah sekalipun meminta kembali apa yang telah diberikannya. Mungkin memang tidak ada bedanya setiap perjuangan sosok ibu demi sang anak tercinta. Lalu apa peran ayah? Ayah seperti terpinggirkan dari sistem keluarga atau hanya sebagai figuran belaka untuk mengisi sebuah keseimbangan hidup. Kupikir juga tidak sedramatis itu, figur ayah merupakan pelengkap kesempurnaan dari sebuah keseimbangan. Terciptanya dua kubu yang bertentangan (oposisi binner) menemukan keharmonisan ketika dua pertentangan tersebut menyatu dalam bingkai kasih sayang dan balutan pengertian (sok teoritik atau hanya sebuah perenungan belaka).
Dua kisah yang memang berbeda dan tidak memiliki kesinambungan, tapi memang hanya itu yang ingin kutuliskan saat ini. Saat aku merasa lelah karena mungkin aku sudah lemah. Lemah menikmati realita dan lelah menunggangi kenyataan. Mungkin juga ini adalah luapan frustasi yang mengungkung jiwa, atau mungkin juga sebuah bentuk pembunuhan pada waktu, entah lah. Yang jelas, saat ini waktu masih menari dengan tarian rangsangan agar aku tetap meniti tangganya mengikuti desahan nafas hingga nafsu.
Kujadikan ini sebagai catatan kebrutalanku, meski aku yakini bahwa setiap kisah hanyalah pengulangan belaka yang terus berulang dan berulang lagi...tak ada kisah baru. Karena dunia hanya sebuah bangunan yang berdinding waktu dan berlangitkan ruang. Putaran waktu hanya 24 jam! Dan ruang hanya selebar dunia...tak lebih dan tak kurang....atau mungkin tak bermakna layaknya tulisan ini...

Selasa, 08 Juli 2008

CERITA HARI INI HANYA PENGULANGAN KISAH BELAKA

Usai sudah rutinitas yang setiap hari membelenggu waktuku. Tiba-tiba seorang rekan kerjaku menghampiri ruanganku, di tutupnya pintu dengan setengah berbisik, "kamu bisa bantu aku ngga?". Setengah terkejut, dengan bahasa tubuhku aku persilakan dia mengambil kursi sambil penasaran aku bertanya, "Ada apa?". Dia seolah ragu untuk berkata, "Ah, lebih baik ngga jadi deh." Aku jadi penasaran, setelah setengah hari berkutat dengan kertas, komputer dan printer, ada rasa kerinduan yang memanggil hasratku untuk habiskan waktu untuk berbicara. "Kamu ini lucu, tadi katanya mau minta tolong tapi belum juga ngomong dah bilang ngga jadi, ada apa sih?". "Jangan bikin penasaran, kemarin tetanggaku kena serangan jantung gara-gara bikin aku penasaran." Dia masih terdiam, kusetel lagu dari PC yang selalu setia menemani hari-hariku, lagu yang sama yang anehnya aku sendiri tidak pernah bosan mendengarnya. Lagu yang selalu setiap menemani waktu luangku...Porch...of course Pearl Jam...

What the fuck is this world
Running to? You didn't
Leave a message
At least I could have
Learned your voice one last time.
Daily minefield
This could be my time
How 'bout you?
Would you hit me?
Would you hit me?

All the bills go by
And initiatives are taken up
By the middle
There ain't gonna be any middle any more
And the cross I'm bearing home
Ain't indicative of my place
Left the porch
Left the porch

Hear my name
Take a good look
This could be the day
Hold my hand
Walk beside me
I just need to say...

Hear my name
Take a good look
This could be the day
Hold my hand
Lie beside me
I just need to say

What can I take?
I just want to be
I know that I would not ever touch you
Hold you
Feel you
Ever hold
Never again

Aku sendiri ngga pernah tahu arti dari lagu tersebut dan tak pernah kutemukan jawaban yang terjujur kenapa aku suka lagu tadi. Yang aku tahu, Eddie Vedder sang vokalis dalam sebuah konsernya di Seattle pernah ngomong pada penonton, "This song is about if you love someone, tell him". Tiba-tiba rekan kerjaku memecah kenikmatanku mendengar gaharnya suara Eddie Vedder.

"Mas, saya ada masalah dengan pacar saya." Lalu akhirnya diam lagi, kukecilkan volume lagu, "Koq, ngomong sama aku?".
"Karena saya ngga tahu lagi harus ngomong sama siapa."

Rekan kerjaku itu memang seorang gadis yang manis, supel dan terkadang manja. Banyak orang di kantor suka padanya, tapi karena dia sudah punya temen dekat akhirnya mundur teratur. Aku sendiri ngga begitu dekat dengannya, karena selain beda bagian juga karena kerjaan yang menumpuk membuatku tidak sempat untuk sekedar melihat-lihat ke bagian lain.

"Terus, apa yang bisa aku bantu?"
"Ngga tahu Mas, saya juga bingung mau memulainya juga?"
"Kalo kamu bingung, aku justru lebih bingung lagi, mau kamu gimana?"
"Saya cuma pengen cerita, tapi Mas janji mau dengerin dan ngga ngetawain trus juga jangan bilang sama orang lain, janji Mas!"
"Syaratnya hanya itu, gampang lah, tapi sebelum kamu mulai bercerita aku ingin tahu dulu, kenapa kamu memilih aku jadi tempat kamu bercerita?"

"Sebenarnya ga ada alasan, cuma saya perhatikan di sini yang jarang ngomong cuma Mas."
Dengan sedikit heran aku pun bertanya, "Apa hubungannya?"
Ia pun hanya tersenyum manja dan berkata, "Karena menurut yang pernah saya baca, orang yang jarang ngomong itu bisa menyimpan rahasia."

Sebuah pendapat yang entah berdasarkan literatur apa dengan lancar keluar dari mulutnya, aku sendiri sebenarnya ingin menolak karena aku ingin menikmati waktu senggangku, tapi siapa sih yang tidak mau bicara dengan perempuan secantik dia, kapan lagi. Dia biasa aku panggil Mba Icha, karena aku pikir umurnya pasti jauh lebih tua, sekitar 2 hingga 3 tahun. Penampilannya cukup modis, hal ini tentu tidak terlepas dari tugasnya sebagai frontgirl sekaligus juga operator telepon di kantor kami.


Lagi-lagi tentang cinta (Lagu cinta melulu...Apa memang karena kuping Melayu...Suka yang sendu-sendu? - lagu Cinta Melulu by Efek Rumah Kaca). Aku sendiri sering mempertanyakan kenapa cinta menjadi persoalan ketika ia dianggap sebagai mata air keindahan yang menghiasi setiap desah nafas manusia.


Sambil membenarkan posisi duduk, aku pun bertanya, "Terus gimana ceritanya?"
Dengan raut wajah yang berubah ia melanjutkan ceritanya.

"Mas, saya punya seorang teman dekat, hubungan ini sudah berjalan sekitar 1 tahun, malam minggu lalu dia tiba-tiba ngajak aku untuk, hmhmhm, Mas pasti ngertilah maksudnya".

"Terus kenapa?", tanyaku
Aku melanjutkan, "Kalo memang kamu comfort dan no problem, just do it and clear, Ok".
Raut wajahnya berubah, "Koq Mas ngomongnya gitu?"
"Jujur aja, persoalan yang kamu hadapi itu di jaman sekarang ini, masalah yang standar."
"Maksud, Mas.", dengan penuh keheranan.
"Paling juga kamu takut hamil, hilang keperawanan, belum waktunya, ngga berani, atau yang standar ekstrimnya kamu sudah pernah dengan yang lain jadi kamu takut pacarmu yang sekarang tahu, that's a standard statement, girls", sembari kuambil sebatang rokok dan menghisapnya.

"Berarti Mas sudah sering ngalami ya?"
"Hahaha, jadi kamu cuma jebak aku dong", timpalku
"Ngga juga, saya cuma kaget aja".
"Aku kasih tahu ya Mba, ratusan mungkin ribuan bahkan jutaan perempuan di dunia ini dari jaman sebelum Masehi hingga detik ini ada yang pernah ngalami situasi seperti yang kamu hadapi." Kuteguk sedikit teh yang sudah dingin sambil menarik nafas aku lanjutkan ocehanku.
"Mba, semua kejadian di dunia ini cuma pengulangan belaka, tidak ada yang baru sama sekali, yang membedakan hanya ruang, waktu dan pelaku, itu saja Mba."
Dia terdiam.

Selasa, 01 Juli 2008

PELANGI DI LANGIT 2009

ada harapan di ujung penantian
memendar cahaya pesona
kasat mata mengulum senja
membelah makna pada batas logika
kau berwarna merah menantang jaman
dan dia menguning meniti waktu
ketika hijau bergerak menghela ajal
sang putih menggeliat manja di antara noda hitam yang merangkai do'a
mengharu si biru hiasi hidangan pagi
kemenangan adalah tujuan
kekuasaan sekedar mainan
kebijakan tak lebih dari rangkaian kata
karena kebajikan hanya liur yang terbuang
buih jargon, slogan dan propaganda mengotori gendang telinga
berbaris rapi merasuki jengkalan otak
diam...
diam...
diam...
mungkin lebih baik diam
atau mungkin harus tertawa
menyaksikan para badut yang bersabda
diam...
diam...
diam...
memang sebaiknya diam
...................................