Rabu, 22 Oktober 2008

KRISIS DI BELAKANG KANTIN

Belum hilang dari ingatan kita dan juga belum selesai kisahnya hingga kini, badai krisis telah kembali. Berawal dari krisis ekonomi Amerika Serikat, biangnya globalisasi, hingga akhirnya sampai lagi di negeri kita ini. Aku pikir lebih enak bahas yang lain saja. Seperti biasa, sebelum masuk kerja aku biasanya nongkrong di belakang kantin kantor dengan beberapa teman, sambil menunggu jam kerja sekaligus juga menghindari acara briefing yang sering kita sebut sebagai praperadilan. Karena di praperadilan itulah biasanya para juragan "mengomentari" (dengan tanda kutip) hasil kerja kita, dan biasanya para pencari muka beradu mulut dengan mesra di ajang ini. Muak juga kalau mengingat hal itu. Oh iya, kami ada tujuh orang yaitu; Aku, Kumkum, Ichunk, Dekok, Faiz, Uje, dan terakhir Tugi (semua bukan nama sebenarnya demi menjaga kesucian). Kami sering dianggap sebagai kaum oposisi di kantor karena seringnya kami mengkritik kebijakan-kebijakan dari pemerintah maupun dari pihak manajemen perusahaan di mana kami bekerja.
Sebenarnya tempat ini tidak layak untuk menjadi tempat nongkrong, selain tidak ada tempat duduk (jadi kalo mau duduk seadanya aja, dan aku jamin lumayan pegal), juga tidak ada peneduh yang "established" karena kami hanya mengandalkan sebuah pohon yang hingga detik ini masih menjadi perdebatan mengenai namanya. Ada yang mengatakan pohon Sukun tapi sebagian lagi mengatakan bahwa itu sebenarnya pohon Kluwih. Aku sendiri tidak berpihak pada siapapun, dan aku memang tidak peduli pada perdebatan tersebut. Kami bertujuh secara kebetulan tidak bekerja di departemen yang sama. Aku sendiri di Finance & Accounting, Kumkum di HRD, Ichunk dari Quality Control, Dekok di Quality Inspection, Faiz di IFP, Uje dari GA dan Tugi di PPC. Entah bagaimana awalnya kami tiba-tiba seperti mendapatkan wangsit untuk saling mengenal dan menyukai tempat yang sama.
Hampir setiap hari kami pasti berkumpul di tempat tersebut dengan jumlah tetap, tujuh orang. Bahkan jika saja dalam satu hari salah satu dari kita tidak nongkrong, rasanya pada saat bekerja terasa sekali ada yang kurang. Dengan kata lain rasanya ada yang ngga afdhol, layaknya ke Mekah tapi ngga singgah ke Madinah. Benar-benar tempat ini begitu addictive bagi kita.
Berbagai hal pernah kita bahas di sini, dari kelakuan dan kebijakan bos yang terkadang lucu bahkan menggemaskan. Hingga tingkah laku anggota dewan, presiden, wakil presiden dan pejabat-pejabat publik yang (pasti) menjijikan. Atau, ehm, seperti biasanya laki-laki kalau nimbrung tidak lepas dari mengartikan sosok yang namanya perempuan, walalupun aku juga terkadang sadar bahwa yang kita lakukan sudah menjurus pada sexual harrashment (sorry yah para perempuan sedunia). Namun, memang itu lah yang benar-benar bisa memberikan nafas segar bagi kita yang tercekik oleh rutinitas.
Akhir-akhir ini yang menjadi headline di belakang kantin adalah krisis ekonomi yang tengah menari genit di dunia. Dengan latar belakang dan perspektif (bahasa kerennya) yang berbeda, kami mencoba untuk saling berargumentasi bak kaum intelektual yang biasa nongol di televisi dan berbicara dengan gaya bahasa yang tidak mudah dipahami.
Ichunk yang lulusan STM menganggap bahwa krisis yang sedang terjadi di Amerika tidak akan pernah melanda kita yang tinggal di Indonesia. Dia beranggapan bahwa Amerika itu jauh. Lain lagi dengan Tugi, sebagai mantan santri di sebuah pesantren mengatakan bahwa gonjang-ganjing ekonomi yang terjadi di negeri kaum kafir itu merupakan balasan dari Allah SWT atas perbuatannya menyerang Irak dan menyengsarakan kaum Muslim. Faiz yang memiliki usaha jual beli kendaraan bekas, berpendapat bahwa krisis yang saat ini terjadi karena barang-barang yang harganya tinggi hingga tidak terjangkau oleh pembeli, makanya dia selalu menyarankan untuk membeli barang-barang bekas saja. Faiz menambahkan bahwa dengan membeli barang bekas maka kita telah membantu usaha kecil masyarakat seperti dia. Uje yang hanya mengecap pendidikan hingga SMP dan memiliki kebiasaan menenggak minuman keras (sorry uje tapi kutulis ini untuk menambah seru saja) lebih menekankan persoalan pada kerakusan kaum kaya yang menimbun barang-barang sehingga harganya naik. Makanya dia bercita-cita untuk menimbun minuman keras supaya kalau sudah susah didapat, selain untuk dikonsumsi sendiri juga dijual dan ia akan cepat kaya.
Kumkum, sebagai mantan aktifis sebuah partai di tingkat kelurahan mengatakan bahwa krisis ini lahir karena masyarakat sudah menjauh dari nilai-nilai kejujuran. Dengan gaya layaknya orator partai politik yang sedang berkampanye, ia menambahkan bahwa dari orang susah hingga orang yang kaya, dari umat sampai dengan imamnya, dari rakyat dengan pemimpinnya, semua sudah tidak ada lagi yang bisa mengatakan kejujuran. semua penuh dengan kebohongan, kepalsuan, money politics, manipulasi hingga semuanya kemudian berakumulasi yang akhirnya menimbulkan krisis. Kumkum pun yakin jika krisis tersebut akan sampai di negeri kita tercinta ini, meskipun dampaknya tidak akan sehebat krisis tahun 1997. Karena yang terkena lebih dulu adalah negara yang disebut sebagai negara kaya. Dengan demikian, akan lebih cepat penyelesainnya. Dekok menimpali, ini karena kesalahan sistem yang salah atau dengan kata lain mismanajemen (salah urus), tanpa melanjutkan argumentasinya.
Aku sendiri malas berkomentar, yang jelas kurasakan adalah naiknya cicilan rumah dikarenakan penyesuaian bunga kredit bank oleh Bank Indonesia hingga 15%. Aku hanya mendengarkan mereka saling bersilang pendapat dengan diselingi sendau gurau. Tiba-tiba, primadona kantor lewat dengan langkah anggunnya. konsentrasi kawan-kawan pun buyar, pembahasan krisis pun usai, yang tersisa hanya decak kagum dan lelehan liur yang dipaksa ditelan. Memang, hanya dia yang mampu menghentikan putaran dunia kecil di belakang kantin ini. Atau mungkin memang krisis keimanan lebih dahulu tiba di sini. kehidupan pun berlanjut. Wassalam

Tidak ada komentar: